BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu yang
lahir akan selalu mengalami perkembangan baik itu jasmani maupun rohani,
kognitif, afektif dan psikomotor, tidak henti-hentinya mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Termasuk juga emosi yang mengalami perkembangan karena emosi
ini masih tergolong ke dalam ranah afektif (pemahaman). Sehingga setiap
individu harus memantau dan mengarahkan masa-masa perkembangan ini ke arah yang
lebih baik, sebab dalam masa ini termasuk masa yang sulit dikendalikan karena
keadaan jiwa individu tersebut belum matang. Maka dari hal di atas kami
tertarik untuk menyusun makalah ini, yang membahas seputar perkembangan emosi
dan proses pembelajaran.
Manusia diciptakan
dengan berbagai potensi bakat, minat, kreativitas yang unik seta dinamis. Tentu
dengan kesemua itu harus ada usaha atau kewajiban untuk mengembangkan baik itu
dari kecerdasan majemuk, kecerdasan spiritual, maupun kecerdasan emosional.
Dalam perkembangan itu tentunya banyak mengalami hambatan atau rintangan yang
dihadapi yang dapat menghambat serta mempengaruhi proses tersebut. Maka
disinilah peran guru pembimbing agar dapat membantu mengentaskan atas
pencegahan terhadap masalah yang timbul maupun yang belum timbul dengan fungsi
pencegahan. Kerena seandainya masalah timbul akan berimplikasi terhadap
perkembangan diri.
Oleh karena itu, kami
ingin membahas lebih jauh mengenai hak ini guna mendapatkan pemahaman yang
benar terhadap apa-apa yang dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam
kaitannya dengan emosional. Dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan emosi, dengan makalah yang singkat mudah-mudahan bermanfaat bagi
kita semua. Tidak lupa kritik dan saran kami harapkan agar tersempurnanya
makalah yang sederhana ini.
B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Emosi
b. Hubungan antara Emosi dengan
Tingkah Laku
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Emosi.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah yang sederhana ini
adalah sebagai berikut:
a. Ingin mengetahui apa yang
dimaksud dengan Emosi
b. Ingin mengetahui apa
hubungan antara Emosi dengan tingkah laku
c. Ingin mengetahui
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Emosi
Perbuatan atau
tingkah laku kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan
tertentu, seperti perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau tidak
senang yang terlalui menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut
warna afektif. Warna afektif kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, atau
kadang-kadang tidak jelas (samara-samar). Dalam hal warna afektif tersebut
kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih
terarah. Perasaan-perasaan ini disebut emosi (Sarlito, 1982: 59). Disamping
perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah
gembira, cinta, marah, takut, cemas, dan benci.
Secara harfiah, emosi
menurut Oxford English Dictionary sebagai suatu agitasi atau gangguan dalam
pikiran, perasaan, nafsu; atau suatu keadaan ketergugahan mental (Goleman,
1995). Bottenberg (1972, dalam Debus, 1977) mengemukakan bahwa emosi merupakan
pengalaman atau perilaku yang tidak memiliki pengertian umum yang sama, setiap
orang memiliki pandnagan tersendiri mengenai pengertian emosi dan fungsi emosi
dalam perilaku manusia.
Emosi dan perasaan
adalah dua hal yang berbeda, tetapi perbedaan antara keduanya tidak dapat
dinyatakan dengan tegas, emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional
yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada
suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga
dapat dikatakan sebagai emosi. Contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk
diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi, menurut Crow dan Crow (1958)
pengertian emosi itu sebagai berikut : “ an emotion, is an affective
experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and
physioligicial strirredup states in the individual, and that shows it self in
his overt behavior.”
Jadi, emosi adalah
pengalaman efektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang nampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi
perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa :
a. Reaksi elektris pada kulit :
meningkat bila terpesona
b. Peredaran darah : bertambah cepat
bila marah
c. Denyut jantung: bertambah cepat
bila terkejut
d. Pernafasan: bernafas panjang bila
kecewa
e. Pupil mata: membesar bila marah
f. Liur: mengering kalau takut atau
tegang
g. Bulu roma: berdiri kalau takut
h. Pencernaan: mencret-mencret kalau
tegang
i. Otot: ketegangan dan ketakutan
menyebabkan otot menegang atau bergetar
j. Komposisi darah: komposisi darah
akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan
kelenjar-kelenjar lebih aktif.
B. Hubungan antara Emosi dengan
Tingkah Laku
Melalui teori
“kecerdasan emosional” yang dikembangkannya, Daniel Goleman mengemukakan
sejumlah ciri utama pikiran emosional sebagai bukti bahwa emosi memainkan
peranan penting dalam pola berpikir maupun tingkah laku individu. Adapun ciri
utama pikiran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Repons yang Cepat Tetapi Ceroboh
Pikiran yang
emosional itu ternyata jauh lebih cepat dari pada pikiran yang rasional karena
pikiran emosional sesungguhnya langsung melompat bertindak tanpa
mempertimbangkan apapun yang akan dilakukannya. Karena kecepatannya itu
sehingga sikap hati-hati dan proses analistis dalam berpikir dikesampingkan
begitu saja sehingga tidak jarang menjadi ceroboh. Padahal, kehati-hatian dan
analistis itu sesungguhnya merupakan ciri khas dari proses kerja akal dalam
berpikir. Namun, demikian, di sisi lain pikiran emosional ini juga memiliki
suatu kelebihan, yakni membawa rasa kepastian yang sangat kuat dan di luar
jangkauan normal sebagaimana yang dilakukan oleh pikiran rasional. Misalnya,
seorang wanita yang karena sangat takut dan terkejutnya melihat binatang yang
selama ini sangat ditakutinya, maka dia mampu melompati parit yang menurut
ukuran pikiran rasional tidak akan mungkin dapat dilakukannya.
2. Mendahulukan Perasaan Baru Kemudian Pikiran
Pada dasarnya,
pikiran rasional sesungguhnya membutuhkan waktu sedikit lama dibandingkan
dengan pikiran emosional sehingga dorongan yang lebih dahulu muncul adalah
dorongan hati atau emosi, baru kemudian dorongan pikiran. Dalam urutan respon
yang cepat, perasaan mendahului atau minimal berjalan serempak dengan pikiran.
Reaksi emosional gerak cepat ini lebih tampak dalam situasi-situasi yang
mendesak dan membutuhkan tindakan penyelamatan diri. Keputusan model ini
menyiapkan individu dalam sekejap untuk siap siaga menghadapi keadaan darurat.
Di sinilah keuntungan keputusan-keputusan cepat yang didahului oleh perasaan
atau emosi. Namun demikian, di sisi lain, ada juga reaksi emosional jenis
lambat yang lebih dahulu melakukan penggodongan dalam pikiran sebelum
mengalirkannya ke dalam perasaan. Keputusan model kedua ini sifatnya lebih
disengaja dan biasanya individu lebih sadar terhadap gagasan-gagasan yang akan
dikemukakannya. Dalam reaksi emosional jenis ini, ada suatu pemahaman yang
lebih luas dan pikiran memainkan peranan kunci dalam menentukan emosi-emosi apa
yang akan dicetuskannya.
3. Memperlakukan Realitas Sebagai Realitas Simbolik
Logika pikiran
emosional, yang disebut juga sebagai logika hati, itu bersifat asosiatif. Dalam
arti memandang unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas itu sama dengan
realitas itu sendiri. Oleh sebab itu, seringkali berbagai perumpamaan, pantu,
kiasan dan teater secara langsung ditujukan kepada pikiran emosional. Para
ulama pensyiar agama dan para guru spiritual termasyhur pada umumnya dalam
menyampaikan ajaran-ajarannya senantiasa berusaha menyentuh hati para
pengikutnya dengan cara berbicara dalam bahasa emosi, dengan mengajar melalui
perumpamaan, fabel, filsafat, ibarat dan kisah-kisah yang sangat menyentuh
perasaan. Oleh karena itulah, ajaran-ajaran orang-orang bijak itu dengan cepat
dan mudah dimengerti pikiran rasional, sesungguhnya simbol-simbol dan berbagai
ritual keagamaan itu tidak sedemikian bermakna jika dibandingkan dengan sudut
pandang pikiran emosional.
4. Masa Lampau Diposisikan Sebagai Masa Sekarang
Dari sudut pandang
ini, apabila sejumlah ciri suatu peristiwa tampak serupa dengan kenangan masa
lampau yang mengandung muatan emosi, maka pikiran emosional akan menanggapinya
dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat
itu. Pikiran bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah
masa lampau. Kesulitannya adalah, terutama apabila penilaian terhadap masa
lampau itu cepat dan otomatis, barangkali kita tidak menyadari bahwa yang
dahulu memang begitu, ternyata sekarang sudah tidak lagi seperti itu.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian
tentang emosi anak menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada
faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960 :266). Reaksi emosional
yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut
mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan berfungsinya system endoktrin.
Kemetangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi
perkembangan emosi.
Perkembangan
intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak
dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama,
dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan
mengingat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi
reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia
yang lebih muda.
Perkembangan kelenjar
endoktrin penting untuk mematangkan prilaku emosional. Bayi secara relatif
kekurangan produksi endoktrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis
terhadap stress. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi
mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar
itu mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia 5 tahun,
pembesaran melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi
sampai anak berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai
kembali ukuran semula seperti saat anak baru lahir. Hanya sedikit adrenalin
yang diproduksi dan dikeluarkan sampai saat kelenjar itu membesar.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi.
Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain :
a. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku
yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak prilaku yang
memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara
belajar ini lebih umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan
sesudahnya, tetapi sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkan sama
sekali.
b. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang
diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin menjadi marah tehadap teguran guru.
Jika ia seorang anak yang popular di kalangan teman sebayanya mereka juga akan
ikut marah pada guru tersebut.
c. Belajar dengan cara mempersamakan
diri
Anak menirukan reaksi
emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan
yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya yang
menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d. Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi
emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi
dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang
mampu manalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan
kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa
kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan
rasa suka dan tidak suka.
e. Pelatihan atau belajar di bawah
bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar
tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi
yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia
beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang
bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini dan memperhalus
perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan
serta pengendalian terhadap perilaku emosional.
Mendekati
berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia
mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut
kehidupannya. Ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan
perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin memahami remaja, kita tidak
hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu
berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.
Jadi, emosi yang
ditunjukan mungkin merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti
contohnya seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan
seorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi malah ia ketawa, sepertinya ia
merasa senang.
Remaja diberi tahu
secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukan
perasaan-perasaannya. Sebagai seorang anak ia tidak boleh menangis walaupun
kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin andaikata ada keberanian
untuk menunjukan perasaan-perasaannya.
Sejak masa
kanak-kanak, para remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka
juga diberitahu/diajar untuk tidak “penakut”, untuk menunjukkan
ketakutan-ketakutan mereka. Akhirnya seringkali mereka takut tetapi tidak
berani menunjukkan perasaan tersebut secara terang-terangan. Adalah hal yang
bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dlam kehidupan orang
dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan rasa takut
daripada menyembunyikan.
Semua remaja, sejak
masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada seorang pun yang
hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada bahasa untuk
menunjukan kemarahan secara terbuka, dan kepada remaja diajarkan bahwa tidak
hanya sekedar menyembunyikan kemarahan meraka tetapi perlu takut terhadap rasa
marah dan merasa bersalah apabila marah. Demikian juga, kebanyakan remaja telah
mengalami bagaimana rasanyadicintai dan mencintai, tetapi banyak diantara
mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan tersebut.
Kondisi-kondisi
kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan
perasaan-presaannya. Ia (mereka) tidak hanya menyembunyikan
perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi pada derejat tertentu bahkan
ia dapat kehilangan atau tidak meresakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya,
bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut,
atau ia betul-betul tidak tahu apakah ia merasa marah, cinta, atau takut ? kenyataan
bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak
mampu menghayati perasaan mereka, misalnya tampak dalam ucapan sambil
menunjukan kebingungan: “saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan”,
saya tidak tahu apakah saya mencintai dia”, saya seharusnya marah, tetapi saya
tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya tentang hal itu.”
Banyak kondisi-kondisi
sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya dengan orang lain
yang membawa perubahan-perubaha untuk menyatakan emosi-emosinya ketika ia
meresa remaja.
Orang tua dan guru-guru
hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini tidak berarti
bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan ana muda. Ia tetap membutuhkan
perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman
emosional. Karena anak tumbuh dalam keadaan fisik dan pemahaman, responnya
berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan
cita-citanya. Ia pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan
tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Dengan bertambahnya
umur, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekspresi emosional.
Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar
belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Emosi adalah pengalaman
efektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang nampak. Emosi
juga dapat dikatakan sebagai warna afektif yang kuat dan ditandai oleh
perubahan-perubahan fisik.
b. Melalui teori “kecerdasan
emosional” yang dikembangkannya, Daniel Goleman mengemukakan sejumlah ciri
utama pikiran emosional sebagai bukti bahwa emosi memainkan peranan penting
dalam pola berpikir maupun tingkah laku individu.
c. Faktor yang mempengaruhi perkembangan
emosi bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Disamping itu juga
suatu reaksi muncul dengan diiringi berfungsinya endoktrin. Kematangan dan
belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
B. Saran
Untuk
menyempurnakan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
atau pihak yang menggunakan makalah ini. Berpegang pada prinsip tidak ada
gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam menuntut ilmu. Dengan
kerendahan hati penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
dengan senang hati kritik dan saran dan pandangan dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I.
Jakarta : Penerbit Erlangga.
Kartono Kartini (1980), Mental hygiene (kesehatan
mental). Bandung : Alumni.
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono (2006), Perkembangan
Peserta Didik, Jakarta: Rineka
http://salamsemangat.wordpress.com/2011/05/27/makalah-psikologi-pendidikan-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar