Sabtu, 22 Juni 2013

Perkembangan Emosi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah 
Setiap individu yang lahir akan selalu mengalami perkembangan baik itu jasmani maupun rohani, kognitif, afektif dan psikomotor, tidak henti-hentinya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Termasuk juga emosi yang mengalami perkembangan karena emosi ini masih tergolong ke dalam ranah afektif (pemahaman). Sehingga setiap individu harus memantau dan mengarahkan masa-masa perkembangan ini ke arah yang lebih baik, sebab dalam masa ini termasuk masa yang sulit dikendalikan karena keadaan jiwa individu tersebut belum matang. Maka dari hal di atas kami tertarik untuk menyusun makalah ini, yang membahas seputar perkembangan emosi dan proses pembelajaran.
Manusia diciptakan dengan berbagai potensi bakat, minat, kreativitas yang unik seta dinamis. Tentu dengan kesemua itu harus ada usaha atau kewajiban untuk mengembangkan baik itu dari kecerdasan majemuk, kecerdasan spiritual, maupun kecerdasan emosional. Dalam perkembangan itu tentunya banyak mengalami hambatan atau rintangan yang dihadapi yang dapat menghambat  serta mempengaruhi proses tersebut. Maka disinilah peran guru pembimbing agar dapat membantu mengentaskan atas pencegahan terhadap masalah yang timbul maupun yang belum timbul dengan fungsi pencegahan. Kerena seandainya masalah timbul akan berimplikasi terhadap perkembangan diri.
Oleh karena itu, kami ingin membahas lebih jauh mengenai hak ini guna mendapatkan pemahaman yang benar terhadap apa-apa yang dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam kaitannya dengan emosional. Dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi, dengan makalah yang singkat mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Tidak lupa kritik dan saran kami harapkan agar tersempurnanya makalah yang sederhana ini.


B.    Rumusan Masalah
a.       Pengertian Emosi
b.      Hubungan antara Emosi dengan Tingkah Laku
c.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Emosi.

C.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah yang sederhana ini adalah sebagai berikut:
a.         Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan Emosi
b.        Ingin mengetahui apa hubungan antara Emosi dengan tingkah laku
c.         Ingin mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi.





BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Emosi

Perbuatan atau tingkah laku kita sehari-hari pada umumnya disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang terlalui menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, atau kadang-kadang tidak jelas (samara-samar). Dalam hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Perasaan-perasaan ini disebut emosi (Sarlito, 1982: 59). Disamping perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, dan benci.
Secara harfiah, emosi menurut Oxford English Dictionary sebagai suatu agitasi atau gangguan dalam pikiran, perasaan, nafsu; atau suatu keadaan ketergugahan mental (Goleman, 1995). Bottenberg (1972, dalam Debus, 1977) mengemukakan bahwa emosi merupakan pengalaman atau perilaku yang tidak memiliki pengertian umum yang sama, setiap orang memiliki pandnagan tersendiri mengenai pengertian emosi dan fungsi emosi dalam perilaku manusia.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda, tetapi perbedaan antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan tegas, emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi, menurut Crow dan Crow (1958) pengertian emosi itu sebagai berikut : “ an emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physioligicial strirredup states in the individual, and that shows it self in his overt behavior.”
      Jadi, emosi adalah pengalaman efektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang nampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa :
            a.       Reaksi elektris pada kulit : meningkat bila terpesona
            b.      Peredaran darah : bertambah cepat bila marah
            c.       Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
            d.      Pernafasan: bernafas panjang bila kecewa
            e.       Pupil mata: membesar bila marah
            f.       Liur: mengering kalau takut atau tegang
            g.      Bulu roma: berdiri kalau takut
            h.      Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang
            i.        Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar
j.        Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang   menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif.

B.   Hubungan antara Emosi dengan Tingkah Laku

Melalui teori “kecerdasan emosional” yang dikembangkannya, Daniel Goleman mengemukakan sejumlah ciri utama pikiran emosional sebagai bukti bahwa emosi memainkan peranan penting dalam pola berpikir maupun tingkah laku individu. Adapun ciri utama pikiran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Repons yang Cepat Tetapi Ceroboh

Pikiran yang emosional itu ternyata jauh lebih cepat dari pada pikiran yang rasional karena pikiran emosional sesungguhnya langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan apapun yang akan dilakukannya. Karena kecepatannya itu sehingga sikap hati-hati dan proses analistis dalam berpikir dikesampingkan begitu saja sehingga tidak jarang menjadi ceroboh. Padahal, kehati-hatian dan analistis itu sesungguhnya merupakan ciri khas dari proses kerja akal dalam berpikir. Namun, demikian, di sisi lain pikiran emosional ini juga memiliki suatu kelebihan, yakni membawa rasa kepastian yang sangat kuat dan di luar jangkauan normal sebagaimana yang dilakukan oleh pikiran rasional. Misalnya, seorang wanita yang karena sangat takut dan terkejutnya melihat binatang yang selama ini sangat ditakutinya, maka dia mampu melompati parit yang menurut ukuran pikiran rasional tidak akan mungkin dapat dilakukannya.

2. Mendahulukan Perasaan Baru Kemudian Pikiran

Pada dasarnya, pikiran rasional sesungguhnya membutuhkan waktu sedikit lama dibandingkan dengan pikiran emosional sehingga dorongan yang lebih dahulu muncul adalah dorongan hati atau emosi, baru kemudian dorongan pikiran. Dalam urutan respon yang cepat, perasaan mendahului atau minimal berjalan serempak dengan pikiran. Reaksi emosional gerak cepat ini lebih tampak dalam situasi-situasi yang mendesak dan membutuhkan tindakan penyelamatan diri. Keputusan model ini menyiapkan individu dalam sekejap untuk siap siaga menghadapi keadaan darurat. Di sinilah keuntungan keputusan-keputusan cepat yang didahului oleh perasaan atau emosi. Namun demikian, di sisi lain, ada juga reaksi emosional jenis lambat yang lebih dahulu melakukan penggodongan dalam pikiran sebelum mengalirkannya ke dalam perasaan. Keputusan model kedua ini sifatnya lebih disengaja dan biasanya individu lebih sadar terhadap gagasan-gagasan yang akan dikemukakannya. Dalam reaksi emosional jenis ini, ada suatu pemahaman yang lebih luas dan pikiran memainkan peranan kunci dalam menentukan emosi-emosi apa yang akan dicetuskannya.

3. Memperlakukan Realitas Sebagai Realitas Simbolik
Logika pikiran emosional, yang disebut juga sebagai logika hati, itu bersifat asosiatif. Dalam arti memandang unsur-unsur yang melambangkan suatu realitas itu sama dengan realitas itu sendiri. Oleh sebab itu, seringkali berbagai perumpamaan, pantu, kiasan dan teater secara langsung ditujukan kepada pikiran emosional. Para ulama pensyiar agama dan para guru spiritual termasyhur pada umumnya dalam menyampaikan ajaran-ajarannya senantiasa berusaha menyentuh hati para pengikutnya dengan cara berbicara dalam bahasa emosi, dengan mengajar melalui perumpamaan, fabel, filsafat, ibarat dan kisah-kisah yang sangat menyentuh perasaan. Oleh karena itulah, ajaran-ajaran orang-orang bijak itu dengan cepat dan mudah dimengerti pikiran rasional, sesungguhnya simbol-simbol dan berbagai ritual keagamaan itu tidak sedemikian bermakna jika dibandingkan dengan sudut pandang pikiran emosional.

4. Masa Lampau Diposisikan Sebagai Masa Sekarang
Dari sudut pandang ini, apabila sejumlah ciri suatu peristiwa tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, maka pikiran emosional akan menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat itu. Pikiran bereaksi terhadap keadaan sekarang seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau. Kesulitannya adalah, terutama apabila penilaian terhadap masa lampau itu cepat dan otomatis, barangkali kita tidak menyadari bahwa yang dahulu memang begitu, ternyata sekarang sudah tidak lagi seperti itu.


C.   Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960 :266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan berfungsinya system endoktrin. Kemetangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.
Perkembangan kelenjar endoktrin penting untuk mematangkan prilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi endoktrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia 5 tahun, pembesaran melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi sampai anak berusia 16 tahun. Pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti saat anak baru lahir. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi dan dikeluarkan sampai saat kelenjar itu membesar.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain :
a.       Belajar dengan coba-coba
            Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak prilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkan sama sekali.
b.      Belajar dengan cara meniru
            Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin menjadi marah tehadap teguran guru. Jika ia seorang anak yang popular di kalangan teman sebayanya mereka juga akan ikut marah pada guru tersebut.
c.       Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya yang menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d.      Belajar melalui pengkondisian
            Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu manalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
e.       Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi.
            Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.

            Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini dan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional.
      Mendekati  berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya. Ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang ia tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.
      Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti contohnya seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan seorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi malah ia ketawa, sepertinya ia merasa senang.
      Remaja diberi tahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukan perasaan-perasaannya. Sebagai seorang anak ia tidak boleh menangis walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya ia ingin andaikata ada keberanian untuk menunjukan perasaan-perasaannya.
Sejak masa kanak-kanak, para remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka juga diberitahu/diajar untuk tidak “penakut”, untuk menunjukkan ketakutan-ketakutan mereka. Akhirnya seringkali mereka takut tetapi tidak berani menunjukkan perasaan tersebut secara terang-terangan. Adalah hal yang bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dlam kehidupan orang dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan rasa takut daripada menyembunyikan.
Semua remaja, sejak masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada seorang pun yang hidup tanpa pernah marah. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukan kemarahan secara terbuka, dan kepada remaja diajarkan bahwa tidak hanya sekedar menyembunyikan kemarahan meraka tetapi perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Demikian juga, kebanyakan remaja telah mengalami bagaimana rasanyadicintai dan mencintai, tetapi banyak diantara mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan tersebut.
      Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan perasaan-presaannya. Ia (mereka) tidak hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi pada derejat tertentu bahkan ia dapat kehilangan atau tidak meresakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya, bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut, atau ia betul-betul tidak tahu apakah ia merasa marah, cinta, atau takut ? kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka, misalnya tampak dalam ucapan sambil menunjukan kebingungan: “saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan”, saya tidak tahu apakah saya mencintai dia”, saya seharusnya marah, tetapi saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya tentang hal itu.”
      Banyak kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya dengan orang lain yang membawa perubahan-perubaha untuk menyatakan emosi-emosinya ketika ia meresa remaja.
      Orang tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini tidak berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan ana muda. Ia tetap membutuhkan perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosional. Karena anak tumbuh dalam keadaan fisik dan pemahaman, responnya berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan cita-citanya. Ia pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
      Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari uraian yang telah dibahas dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a.         Emosi adalah pengalaman efektif  yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang nampak. Emosi juga dapat dikatakan sebagai warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
b.         Melalui teori “kecerdasan emosional” yang dikembangkannya, Daniel Goleman mengemukakan sejumlah ciri utama pikiran emosional sebagai bukti bahwa emosi memainkan peranan penting dalam pola berpikir maupun tingkah laku individu.
c.         Faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar. Disamping itu juga suatu reaksi muncul dengan diiringi berfungsinya endoktrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.


B.   Saran
            Untuk menyempurnakan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca atau pihak yang menggunakan makalah ini. Berpegang pada prinsip tidak ada gading yang tidak retak dan tidak ada final dalam menuntut ilmu. Dengan kerendahan hati penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, dengan senang hati kritik dan saran dan pandangan dari berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kartono Kartini (1980), Mental hygiene (kesehatan mental). Bandung : Alumni.

Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono (2006), Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka

http://salamsemangat.wordpress.com/2011/05/27/makalah-psikologi-pendidikan-2/